Worro Sudarmo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Dongeng tentang Anak yang Memenjarakan Orang Tuanya (#tantangan menulis 30 hari, hari ke-6

Dongeng tentang Anak yang Memenjarakan Orang Tuanya

Oleh Worro Sudarmo

Besok Uji Coba Ujian Nasional II (UCUN II) akan dilaksanakan. Alhamdulillah, karena saya diberi amanah untuk menjadi seorang guru, maka saya diharuskan untuk peduli dengan UCUN dan hasil Ujian Nasional (UN).

Bicara tentang hasil UN tahun lalu, saya jadi teringat dongeng nenek saya semasa saya kecil. Dongeng yang setelah saya dewasa sebenarnya menurut saya jauh lebih sesuai untuk orang tua. Yang namanya dongeng tentu saja sederhana saja. Singkatnya, begini kisahnya.

Pada suatu masa ada seorang anak kecil yang sangat dimanjakan oleh orang tuanya. Segala yang diinginkan selalu berusaha dituruti meski harus melanggar norma. Segala yang dilakukan selalu saja dibela walau harus ditutupi dengan berjuta kebohongan sebagai pembelaannya.

Suatu ketika anaknya mencuri mainan milik temannya. Si teman tahu benar siapa pencurinya. Namun, apa yang dilakukan oleh orang tua si anak? Mati-matian ditutupinya dengan penuh ketidakjujuran. Orang tua tentu orang dewasa yang paham benar dengan kebenaran dan kesalahan. Tetapi itulah yang dilakukan. Berkali-kali si anak melakukan, berulang-ulang pula si orang tua memberikan pembenaran dengan pembelaan hebatnya.

Ketika si anak telah dewasa, tindakan masa kecilnya berakibat fatal. Dengan bukti yang sangat kuat, si anak tertangkap telah melakukan beragam pencurian, korupsi, dan manipulasi. Maka duduklah dia sebagai tersangka dalam sebuah persidangan. Tak ada pembelaan yang mampu meringankan hukuman yang harus dia terima. Namun, tiba-tiba, sesaat sebelum hakim mengetuk palu pengesahan, si anak yang telah dewasa ini melakukan interupsi.

“Maaf, Bapak Hakim. Saya terima semua keputusan sidang, namun kedua orang tua saya juga harus ikut menerima hukuman seperti saya. Bahkan seharusnya lebih berat.”

“Lho, kenapa sebab? “ tanya Hakim.

“Ya. Karena dialah sekarang saya menjadi begini. Karena dialah sekarang saya menjadi penipu, peencuri, koruptor. Dulu, semasa saya kecil, orang tua saya selalu membiarkan saya melakukan hal seperti ini. Bahkan saya selalu dibelanya. Karena itulah, saya tak pernah merasa bersalah jika saya melakukan hal-hal seperti sekarang. Coba kalau dulu saya dilarang. Bahkan kalau perlu dipukul. Pasti saya tidak seperti sekarang!” jawab si anak dengan tegas dan jelas.

Sontak hadirin dalam persidangan terdiam.

Begitulah dongeng yang dulu pernah saya dengar. Tentu saja saat itu bahasanya tidak seperti ini, melainkan bahasa khas kanak-kanak.

Selepas UN, dongeng ini sungguh mengganggu pikiran saya. Tak sebatas mengganggu, bahkan sangat mencemaskan. Kini, menjelang UN, gangguan ini mengusik kecemasan saya lagi. Sebab, bukan tidak sedikit, orang-orang dewasa bahkan orang tua yang berlaku seperti si orang tua dalam dongeng tersebut.

Walau saya tak pernah melakukan penelitian intensif, banyak kecurigaan bahkan tuduhan yang diarahkan kepada oknum-oknum penjual kunci jawaban melalui pesan singkat (SMS) atau yang sejenisnya. Bukan oknum peserta UN saja yang bergerilya, juga orang tua mereka!

Tanpa merasa bersalah bahkan tanpa berpikir jauh akan efek pembentukan mental mereka, oknum orang tua ini mengajari dan memberinya alat pembunuh budi pekerti luhur berupa kunci jawaban UN. Betul mereka memang punya dalih, salah satunya adalah kasihan jika tidak lulus.

Saya tidak benci mereka. Hanya saja menurut hemat saya, jika proses belajar berlangsung dengan baik, penuh etos kerja yang seharusnya diamalkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan, jujur, siapa pun penguji, dan apa pun alat ujinya dengan rambu-rambu kurikulum yang sama, sangat tak beralasan untuk takut, cemas, dan panik. Apalagi kalau semua sadar diri bahwa pendidikan anak oleh siapapun dan lembaga apa pun adalah investasi untuk masa depan. Seperti halnya bertani, benih yang ditanam inilah yang nantinya akan tumbuh dan dipanennya.

Apakah kita mau jika buah yang kita petik adalah buah busuk penuh dengan ulat sebagai akibat cara kita yang buruk dalam bertani? Maukah kita jika harus menikmati hari tua yang penuh penderitaan dan rasa sakit sebagai hasil dari investasi kebobrokan moral dan mental buruk melalui cara mendidik anak kita?

Seharusnya kita memberi keyakinan bahwa segala ujian akan membuatnya menjadi makin kuat. Seharusnya kita percaya akan keandalan anak-anak kita dalam menghadapi ujian. Yakinkanlah kepada diri sendiri, anak-anak kita, dan semua orang bahwa ujian dan masalah merupakan rahmat yang akan menaikan derajat kita. Hanya saja memang pahitnya tidak kita sukai.

Kasihan itu bukan memberi ikan, tetapi memberi kail dan mengajarinya memancing. Jangan seperti dongeng tentang anak yang memenjarakan orang tuanya. []

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus pak. ceritanya merupakan Sebuah sindiran

24 Feb
Balas

Terima kasih, Bu Nurbaiti. Jadi tambah semangat untuk menulis lagi.

24 Feb
Balas



search

New Post